Tugasnya tidak hanya di Surabaya, tapi juga mendirikan cabang NU di Jawa Barat. KH Abdul Chalim bertugas di Semarang dan terus berjuang bersama KH Abdul Wahab Hasbullah untuk menyebarkan NU. Beliau aktif di setiap muktamar NU.
Pada masa penjajahan Jepang, komunikasi dengan KH Abdul Wahab Hasbullah terganggu, tetapi setelah penjajahan berakhir, kembali aktif dan mendapatkan bimbingan dari KH Hasyim Asy’ari. KH Abdul Chalim juga menjadi kepercayaan KH Hasyim Asy’ari.
Pada November 1945, KH Abdul Chalim dipanggil oleh KH Hasyim Asy’ari untuk membawa pasukan ke Surabaya dalam Pertempuran 10 November 1945. Saat kemerdekaan, beliau menyadarkan para Kyai yang terprovokasi oleh PKI dan DI TII untuk kembali ke pangkuan Republik.
Dengan pengalaman dari Makkah, KH Abdul Chalim menjadi penengah di antara konflik, termasuk antara KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Asnawi Kudus. Gelarnya "Mushlikhu Dzatil Bain" menunjukkan peran damai di antara pihak yang berselisih.
Wafat pada 12 Juni 1972, KH Abdul Chalim meninggalkan warisan perjuangan dan kontribusi besar dalam membangun dan memajukan NU.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta