“Itu karena beban untuk menjunjung prestise orang kulit putih terletak di pundak mereka (perempuan Eropa),” kata Ann Stoler.
Perempuan cantik yakni perempuan berkulit putih yang halus dan kalem menjadi komoditas budaya kecantikan di Hindia Belanda. Sejarawan Onghokham dalam artikelnya “Show Kemewahan, Suatu Simbol Sukses”, menyebut komoditas Eropa tersebut tidak hanya dikonsumsi orang Eropa dengan tujuan menjaga prestise mereka sebagai penjajah.
Komoditas budaya estetik Eropa itu juga dikonsumsi orang Indo campuran, China, serta priyayi pribumi baru (aristokrat dan birokrat Jawa) yang menjalankan kebudayaan Eropa untuk memajukan karier, prestise, serta status sosial politik mereka. Kelak, dalam perjalanannya, bangunan budaya estetik Eropa semakin mendapatkan bentuknya.
Warna kulit putih sebagai simbol kecantikan wanita diperkokoh dengan adanya framing media massa terbitan era kolonial. Surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad (1885-1935), De Locomotief (1864-1956), dan Java Bode (1852-1957) membuat lembar khusus perempuan, dengan produk iklan kecantikan yang mengambil foto atau gambar perempuan Kaukasia disertai teks yang menandai mereka sebagai ideal kecantikan.
“Terbitan-terbitan era kolonial ini tak syak lagi menyediakan bukti berlimpah tentang representasi perempuan Kaukasia sebagai ideal kecantikan dalam wacana kecantikan yang dominan,” kata L. Ayu Saraswati dalam buku Putih, Warna Kulit, Ras dan Kecantikan di Indonesia Transnasional (2017).
Editor : Miftahudin