Sementara perempuan China dan Arab bertambah masing-masing 646 orang dan 841 orang. Gelombang kedatangan imigran perempuan Eropa secara perlahan mengikis “budaya” pergundikan yang sebelumnya lumrah dilakukan laki-laki Eropa di Hindia Belanda.
Minat para pejabat kolonial Belanda untuk memelihara Nyai, menyusut. Mereka tidak lagi tertarik menyimpan perempuan pribumi sebagai istri simpanan. Kekhawatiran munculnya “orang putih” miskin yang bisa mengancam superioritas putih Eropa, membuat para lelaki Belanda memilih kembali berpaling kepada para wanita yang masih satu ras (kulit putih).
“Pergundikan mulai dianggap tidak begitu lagi diminati, dan pria-pria Eropa pun tak lagi terdorong untuk menyimpan Nyai,” kata Scholten Locher dalam Women and The Colonial State: Essays on Gender and Modernity in The Netherlands Indies 1900-1942.
Selain menggusur praktik pergundikan, kehadiran wanita Eropa di Hindia Belanda sekaligus dipakai mempertegas superiotas Eropa di negeri jajahan, khususnya menyangkut citra kecantikan perempuan Eropa. Kolonial Belanda telah mempraktikkan politik rasial estetik. Kulit yang berwarna putih digunakan sebagai pembeda kategori sosial.
Citra kulit terang sebagai simbol ideal kecantikan perempuan Jawa masa pra kolonial, digusur. Bahwa yang disebut perempuan cantik itu yakni mereka yang berkulit putih Eropa.
Bukan lagi kulit warna sawo terang sebagaimana diceritakan dalam kisah-kisah Ramayana. Bagi kekuasaan kolonial, menampilkan keeropaan di Hindia Belanda menjadi sesuatu yang penting. Penanda keeropaan dikonstruksi dan diperlihatkan kasat mata.
Ann Stoler dalam Making Empire Respectable: The Politics of Race and Sexual Morality in 20th Century Colonial Cultures (1989) menyebut: terutama para perempuan Belanda terdorong menghiasi diri dan keluarga dengan artefak-artefak budaya sebagai Eropa. Mereka tidak hanya menonjolkan warna kulit putih sebagai simbol kecantikan nan agung.
Sebelum menjejakkan kaki di tanah Hindia Belanda, para perempuan Eropa dibrefing urusan tata krama Eropa. Mereka harus bisa menampilkan sopan santun kelas menengah Eropa serta kepantasan kolonial. Para perempuan Eropa didesain untuk tidak mempertontonkan kemarahan atau pun ringan melontarkan cacian.
Di depan kaum jajahan, tindak tanduk perempuan Eropa harus senantiasa terlihat bijak dan terkendali, terutama saat menghadapi pembantu: harus tenang, jaga diri, tak pernah marah, selalu tegas, dan lebih unggul. Prestise orang kulit putih di Hindia Belanda menjadi alasan dibalik prilaku para perempuan Eropa yang senantiasa tampak terkendali dan pantas itu.
Editor : Miftahudin