JAKARTA, iNews.id - Ada banyak tradisi unik di Indonesia. Salah satunya tradisi Suku Polahi yang tak lazim bagi masyarakat umum, yakni perkawinan dengan sedarah atau saudara kandung.
Polahi salah satu suku terasing di Indonesia, tinggal di pedalaman hutan tepatnya di lereng Gunung Boliyohuto, Desa Tamaila Utara, Kecamatan Tolangohula, Kabupaten Gorontalo.
Sejak abad ke-17, orang Polahi mengasingkan diri dari masyarakat umum. Polahi sendiri berasal dari bahasa Gorontalo yakni lahi-lahi yang berarti pelarian.
Pemimpin suku saat itu memilih mengasingkan diri ke hutan lantaran menolak tunduk pada peraturan serta penindasan yang dilakukan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
Acuan mereka berpindah tempat biasanya saat ada salah satu anggota keluarga yang meninggal. Menurut kepercayaan Suku Polahi, jika ada yang meninggal di satu lokasi, mereka harus segera pindah. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, mereka akan mendapat kesialan atau kutukan.
Sebab itu, Suku Polahi menerapkan kehidupan nomaden dan tak membuat bangunan tempat tinggal yang permanen. Tempat tinggal dibuat seadanya dari kayu atau bahan yang tersedia di alam.
Kehidupan Suku Polahi juga diwarnai dengan tradisi yang kontroversial, seperti perkawinan sedarah atau inses. Bagi masyarakat Indonesia, perkawinan sedarah merupakan hal tabu dan dilarang. Namun, nyatanya perkawinan sedarah kerap dilakukan Suku Polahi.
Perkawinan yang terjadi antara ayah dan anak, ibu dan anak, kakak dan adik, menjadi hal sangat biasa. Suku Polahi menganggap perkawinan sedarah merupakan sesuatu yang wajar.
Dari sudut pandang agama dan medis, perkawinan sedarah dilarang karena berdampak buruk pada keturunan. Anak yang dihasilkan dari perkawinan sedarah berpotensi mengalami kelainan fisik dan mental. Namun anehnya, hal itu tidak terjadi pada Suku Polahi.
Anak yang terlahir dari perkawinan sedarah lahir dalam keadaan normal, tidak cacat. Anak-anak Suku Polahi juga mengalami pertumbuhan serta perkembangan seperti orang normal.
Meski hidup mengasingkan diri, Suku Polahi sudah mampu beradaptasi dengan masyarakat umum saat ini. Mereka bersosialisasi termasuk berdagang dengan masyarakat, seperti menjual hasil panen.
Editor : Windi Trikusumawati