Sengketa Lahan di Jl. Ampera Kota Cirebon, Warga Gugat BPN di PTUN

KOTA CIREBON, iNews.id – Proses hukum sengketa lahan antara warga Jl. Ampera, Kelurahan Pekiriingan, Kecamatan Kesambi, Kota Cirebon, dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN), kembali berlanjut di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Persidangan kali ini memasuki tahap pemeriksaan setempat, yang menjadi bagian dari sidang persiapan sebelum perkara berlanjut ke tahap sidang terbuka.
Kuasa hukum warga, Tjandra Widyanta, menjelaskan bahwa pemeriksaan setempat dilakukan untuk mencocokkan titik-titik objek sengketa antara pihak penggugat dan tergugat. “Sidang hari ini adalah bagian dari tahapan persiapan, yakni pemeriksaan setempat. Hakim bersama para pihak turun ke lapangan untuk menentukan lokasi objek sengketa dan mencocokkan datanya. Dari hasil pemeriksaan, ternyata data yang kami miliki dengan pihak tergugat dinyatakan sama,” jelas Tjandra saat diwawancarai usai sidang, Jumat (25/4/2025).
Ia menyebutkan, pemeriksaan lapangan dilakukan secara sampling karena keterbatasan waktu. Padahal, berdasarkan data para penggugat, seharusnya terdapat 65 sertifikat yang diverifikasi. “Memang tidak seluruh rumah dicek karena waktu tidak mencukupi, namun hakim menyatakan data yang kami ajukan valid dan sesuai,” ungkapnya.
Tjandra juga menerangkan bahwa sebelumnya pihaknya sempat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Bandung. Namun gugatan tersebut tidak diterima karena dianggap bukan ranah peradilan umum. “Gugatan pertama kami ditolak karena dinilai menyangkut kebijakan pemerintah daerah, sehingga harusnya menjadi kewenangan PTUN, bukan pengadilan negeri,” ujarnya.
Dalam perkara ini, warga menggugat empat Surat Keputusan (SK) yang diterbitkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Dari empat SK tersebut tercatat 117 sertifikat hak milik (SHM). Namun, hanya 105 penggugat dengan 65 sertifikat yang resmi masuk dalam perkara. “Beberapa sertifikat dimiliki oleh lebih dari satu orang, ada yang atas nama tiga hingga empat orang,” kata Tjandra.
Tjandra menyoroti adanya ketidakpastian hukum dalam perkara ini. Ia menyebutkan bahwa pemerintah menganggap warga sebagai penyewa dan penggarap lahan sejak tahun 1950-an. Padahal, warga sudah sejak lama mengajukan proses sertifikasi dan bahkan telah mendapat persetujuan, salah satunya melalui SK tahun 1993. Namun pada tahun 2012, Sekretaris Daerah Jawa Barat mengeluarkan permohonan blokir atas lahan tersebut.
“Akibat pemblokiran itu, warga tidak bisa memanfaatkan sertifikatnya, tidak bisa diagunkan, dijual, dialihkan, bahkan tidak bisa digunakan untuk mendirikan rumah tinggal,” jelas Tjandra.
Ia menambahkan, dalam gugatan sebelumnya, fakta pemblokiran tersebut sudah terbukti nyata. “Pemblokiran itu tertulis terang dalam buku induk tanggal 13 Desember 2023. Artinya sejak SK 1993 diterbitkan hingga kini, hak warga tetap diblokir,” ujarnya.
Menurut Tjandra, lahan yang disengketakan saat ini sudah berubah menjadi kawasan permukiman permanen dan dihuni oleh ratusan warga, “Kalau dilihat dari sejarahnya, lahan ini dulunya merupakan kawasan yang ditempati buruh-buruh pelabuhan. Sekarang sudah menjadi lingkungan perumahan,” tutupnya.
Sidang akan dilanjutkan ke tahap sidang terbuka apabila majelis hakim menyatakan kelengkapan gugatan telah terpenuhi.
Editor : Miftahudin