Di tengah kemajuan zaman saat ini, apalagi di Pulau Jawa, Suku Samin tetap mempertahankan adat dan tradisi. Di sisi lain, suku ini tetap berbaur dengan masyarakat umum.
Jumlah mereka saat ini tidak banyak lagi dan mendiami kawasan pegunungan Kendeng di perbatasan dua provinsi, yakni Blora, Jawa Tengah, dan Bojonegoro, Jawa Timur.
Suku Samin berawal dari seorang penduduk desa bernama Ki Samin Surosentiko yang lahir di Desa Poso, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, pada 1859. Bagi masyarakat sekitar tempat tinggal, Ki Samin dikenal sebagai sosok mulia.
Bahkan ada yang menyebutnya sebagai intelektual desa. Samin juga pemimpin yang dihormati masyarakat setempat. Namun, tidak bagi pemerintah Belanda saat itu. Samin dikenal sebagai penjahat yang sering masuk keluar penjara karena tak patuh aturan penjajah.
Salah satu sikap yang diajarkan adalah Sedulur Sikep. Makna ajaran ini bahwa Suku Samin mengutamakan perlawanan tanpa senjata dan kekerasan. Akar dari ajaran ini berawal dengan tindakan mereka untuk tidak membayar pajak serta tak mau menaati peraturan dari pemerintah kolonial Belanda sampai ke penjajahan Jepang. Sikap ini seringkali dianggap menjengkelkan, bahkan terkadang masih dirasakan sampai saat ini.
Ajaran lain yang berkembang di antara masyarakat Suku Samin adalah Sohaling Ilat yang berarti gerak lidah. Makna ajaran ini adalah agar tidak berbicara sembarangan, menjaga lidah atau lisan agar tidak mengucapkan kata-kata bohong yang berpotensi menyakiti hati dan perasaan orang lain. Hal ini berlaku antara satu warga dengan lainnya. Jika tidak ingin disakiti, jangan menyakiti orang lain. Ajaran serupa juga berlaku di setiap aspek kehidupan penduduk setempat.
Editor : Miftahudin