Menurutnya, ada empat kecamatan di Kota Cirebon yang terdampak signifikan, namun aspirasi masyarakat sering kali dianggap hanya mewakili “1 persen” suara. Padahal, hampir seluruh wilayah mengalami kenaikan minimal 100 persen.
“Hanya karena dianggap nilainya kecil, misalnya 50–100 persen, lalu dibilang tidak berdampak. Padahal, kenaikan berapa pun tetap membebani warga. Bahkan 1 persen pun tetap bagian dari masyarakat Cirebon,” tegasnya.
Sejak Januari 2024, Paguyuban Pelangi telah melakukan berbagai upaya, mulai dari menyampaikan aspirasi ke DPRD, mengadakan aksi unjuk rasa, hingga audiensi ke pemerintah pusat. Namun, menurut mereka, perubahan yang dirasakan masih sangat minim.
Paguyuban Pelangi pun mengajak seluruh warga Cirebon untuk memberikan dukungan agar tuntutan revisi kebijakan PBB ini benar-benar diperhatikan oleh pemerintah, baik daerah maupun pusat.
Salah satu tokoh masyarakat, Surya Pranata, mengungkapkan bahwa tagihan PBB yang diterima warga sangat memberatkan dan tidak masuk akal.
Ia mencontohkan, pada 2023 ia membayar PBB sebesar Rp6,2 juta. Namun di 2024, tagihannya melonjak menjadi Rp65 juta.
“Kalau kenaikannya wajar, saya nggak akan protes. Tapi ini jelas tidak masuk akal. Itu sebabnya kami menolak dan meminta kebijakan ini dicabut,” ujarnya.
Editor : Miftahudin
Artikel Terkait