Ia mengungkap, warga pernah berinisiatif mengebor sumur sedalam 16 meter demi mendapat air bersih. Hasilnya nihil: air tetap keruh, berbau, dan berasa amis. “Tak layak konsumsi. Untuk minum dan masak, kami terpaksa beli air tiap minggu. Minimal Rp 75.000 per rumah,” ujarnya.
Teguran yang Terabaikan
Menurut Asep, Kementerian Lingkungan Hidup sebenarnya sudah memberi teguran resmi kepada Pemkot Cirebon terkait pengelolaan TPA. Namun hingga kini, metode open dumping tetap berjalan.
“Di wilayah saya saja, ada 97 KK atau sekitar 450 jiwa yang terdampak. Belum dihitung kampung lain yang lebih dekat ke TPA. Semua harus beli air bersih,” jelasnya.
Asep mengaku sudah mengirim surat ke Kelurahan Argasunya dan meminta audiensi dengan Wali Kota. Ia juga mendorong dilakukan riset ilmiah untuk mengetahui kandungan pasti air sumur warga. “Selama ini kami hanya melihat dengan mata. Warna dan baunya saja sudah jelas tidak layak,” katanya.
Menunggu Tindakan
Warga, mahasiswa, dan pegiat lingkungan terus menuntut penanganan serius. Namun waktu berjalan, pencemaran tetap membelenggu Argasunya. Di atas perkampungan, TPA Kopiluhur kian meninggi, sementara di bawahnya, air sumur perlahan kehilangan kehidupan.
Editor : Miftahudin
Artikel Terkait
