Padahal, sejarah mencatat bahwa Pacu Jalur telah ada sejak abad ke-17 di Kuantan Singingi, Provinsi Riau.
Tradisi ini digelar setiap bulan Agustus untuk merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Perahu panjang yang dihias meriah dikayuh puluhan pendayung secara serempak, dipandu oleh gerakan dan irama penari di bagian haluan.
Pacu Jalur bukan hanya sebuah perlombaan, melainkan simbol gotong royong, kebersamaan, dan kekayaan budaya lokal yang diwariskan lintas generasi.
Seorang tokoh budaya Riau menegaskan, “Pacu Jalur bukan hanya milik Kuansing, tapi milik Indonesia. Kami bangga tradisi ini dikenal dunia, tapi jangan sampai ada yang mengklaimnya sepihak.”
Pemerintah daerah pun angkat bicara, menekankan pentingnya menjaga keaslian budaya dari potensi klaim negara lain.
Mereka menilai viralnya Pacu Jalur sebagai pengingat dan peluang untuk memperkuat posisi budaya Indonesia di kancah internasional.
Sementara itu, masyarakat Kuansing justru semakin bersemangat melestarikan tradisi ini.
Generasi muda aktif terlibat dalam pelatihan dan festival tahunan, menunjukkan bahwa Pacu Jalur adalah bagian hidup dari identitas mereka.
Di tengah arus globalisasi, viralnya Pacu Jalur menjadi alarm sekaligus harapan: bahwa budaya Indonesia bisa mendunia, selama kita tetap menjaganya dari akar. Dari Kuantan Singingi untuk dunia, Pacu Jalur adalah warisan Indonesia.
Editor : Miftahudin
Artikel Terkait