CIREBON, iNewsCirebon.id - Biografi KH Abdul Chalim Leuwimunding, lahir pada 2 Juni 1890 di Leuwimunding. KH Abdul Chaling adalah putra Kedung Wangsagama dan ibu Satimah. Ayahnya, seorang Kuwu disegani oleh masyarakat.
Selama kecil, beliau bersekolah di Sekolah HIS (Hollandsch Inlandsche School). Kemudian, beliau memperdalam ilmu agama di beberapa pesantren wilayah Leuwimunding dan Rajagaluh, seperti Pondok Pesantren Banada, al-Fattah Trajaya, dan Nurul Huda al-Ma’arif Pajajar. Pada tahun 1913, beliau naik haji dan kemudian menimba ilmu di Mekkah.
Di Mekkah, KH Abdul Chalim berkenalan dengan KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Asnawi Kudus, menjadi anggota Syarikat Islam. Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 1914, beliau berkhidmat kepada kedua orang tua, terlibat dalam memerdekakan Indonesia setelah ayahnya meninggal.
Pada tahun 1922, beliau berangkat menuju Surabaya, berjalan kaki selama 14 hari untuk menanamkan nasionalisme. Di Tebuireng, beliau mendapatkan bimbingan dari KH Hasyim Asy’ari. Di Surabaya, bergabung dengan KH Abdul Wahab Hasbullah mengatur Nahdlatul Wathan dan Taswirul Afkar.
Dengan kepandaiannya mengatur organisasi, Nahdlatul Wathan berkembang pesat dengan cabang di Sidoarjo dan Gresik. Pada 1924, setelah kurikulum terlaksana, Nahdlatul Wathan menjadi Syubbanul Wathan di bawah kepemimpinan KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Abdul Chalim.
Pada 1922, KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Abdul Chalim menjadi sahabat tak terpisahkan. Mereka memimpin Syubbanul Wathan, mendirikan Komite Hijaz, dan mengirim surat ke ulama pesantren se-Jawa untuk mendirikan Nahdlatul Ulama. Pertemuan pada 31 Januari 1926 menetapkan NU sebagai pengirim surat dan memilih pengurus.
Berbeda dari 65 pendiri NU lainnya, KH Abdul Chalim menjadi penulis surat, mengusulkan isi surat untuk kemerdekaan Republik. Sejak pindah ke Surabaya, beliau berjuang menggerakkan organisasi, mendirikan sekolah di berbagai lokasi.
Tugasnya tidak hanya di Surabaya, tapi juga mendirikan cabang NU di Jawa Barat. KH Abdul Chalim bertugas di Semarang dan terus berjuang bersama KH Abdul Wahab Hasbullah untuk menyebarkan NU. Beliau aktif di setiap muktamar NU.
Pada masa penjajahan Jepang, komunikasi dengan KH Abdul Wahab Hasbullah terganggu, tetapi setelah penjajahan berakhir, kembali aktif dan mendapatkan bimbingan dari KH Hasyim Asy’ari. KH Abdul Chalim juga menjadi kepercayaan KH Hasyim Asy’ari.
Pada November 1945, KH Abdul Chalim dipanggil oleh KH Hasyim Asy’ari untuk membawa pasukan ke Surabaya dalam Pertempuran 10 November 1945. Saat kemerdekaan, beliau menyadarkan para Kyai yang terprovokasi oleh PKI dan DI TII untuk kembali ke pangkuan Republik.
Dengan pengalaman dari Makkah, KH Abdul Chalim menjadi penengah di antara konflik, termasuk antara KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Asnawi Kudus. Gelarnya "Mushlikhu Dzatil Bain" menunjukkan peran damai di antara pihak yang berselisih.
Wafat pada 12 Juni 1972, KH Abdul Chalim meninggalkan warisan perjuangan dan kontribusi besar dalam membangun dan memajukan NU.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta
Artikel Terkait