Ia mengawali perantauannya ke Jambi.Di sana, ia pun bekerja sebagai pekerja serabutan agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Bustaman bekerja di sebuah kebun karet, berdagang asongan, jualan koran, hingga jadi seorang tukang cuci di rumah makan.
Bustaman pun lantas menikah dengan seorang wanita bernama Fatimah. Keduanya dikaruniai dua orang anak. Setelah itu, pada tahun 1968, ia lantas memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Di sana Bustaman pun hidup menumpang di rumah adik iparnya.
Ketika tinggal di rumah adik iparnya di kawasan Matraman, Jakarta Pusat tersebut, Bustaman pun bekerja sebagai pedagang rokok gerobak di pinggir jalan. Namun masalah kemudian muncul. Ada masalah keributan antara orang Minang dan preman di lokasi tersebut yang berbuntut Bustaman akhirnya memutuskan pindah ke daerah Pejompongan.
Mulai Membuka Usaha Warung Makan
Kepindahannya tentu saja membuat kondisi keuangannya tidak stabil. Pendapatannya mengalami penurunan drastis. Ia kemudian berpikir untuk membuka sebuah warung makan agar memperoleh penghasilan lebih.
Dari pengalaman yang didapatkannya ketika bekerja sebagai tukang cuci di warung makan, Bustaman pun memulai usaha ini dengan menyewa lahan berukuran 1x1 meter dengan modal Rp3 ribu. Bustaman yang tidak memiliki keahlian memasak pun tak pantang menyerah. Ia tak segan untuk belajar.
Namun, tidak ada usaha yang langsung membuahkan hasil. Begitupun usaha yang dilakukan Bustaman. Usaha warung makannya justru menghasilkan omzet yang tidak jauh lebih besar dari modal yang dikeluarkan. Ia juga mendapat kemalangan karena hasil dagangannya dibawa kabur oleh pembantunya.
Titik Balik Hidup Bustaman
Kegagalan yang sempat dialami Bustaman pun tak lantas membuatnya menyerah dalam usaha warung makan ini. Ia tetap bertahan dan konsisten mendirikan warung makannya kembali. Bustaman kemudian mencari tukang masak yang cukup bisa dipercaya.
Kesabaran dan kerja keras Bustaman pun membuahkan hasil. Warung makannya mulai ramai dan diminati. Ia pun mendapatkan keuntungan yang lebih baik dibanding warung pertamanya.
Sayangnya, Bustaman harus kembali mengalami cobaan di tengah kesuksesan yang baru saja dirasakannya. Ia harus merelakan warung makannya yang pada saat itu masih dalam bentuk gerobak harus diangkut Satpol PP.
Meski demikian, ia tidak lantas putus asa. Akhirnya Bustama membuka sebuah warung di lahan yang disediakan Pemerintah. Ia membeli satu lapak seharga Rp750.
Editor : Miftahudin
Artikel Terkait