Kisah Pilu Tasmi, Pekerja Migran Asal Cirebon yang Meninggal di Perantauan

Tasmi, perempuan tangguh berusia 50 tahun, bekerja sebagai asisten rumah tangga di Malaysia sejak 2013. Sejak saat itu, ia tak pernah kembali ke kampung halaman. Bukan karena tak rindu, tapi karena tak ada biaya. Bahkan untuk sekadar menelpon, komunikasi dengan keluarga kerap terputus oleh keterbatasan.
“Ia sering mengeluhkan sakit karena diabetes. Minggu lalu sempat bilang ingin pulang. Tapi saya tahu, kakak saya tak punya cukup uang untuk itu,” ujar Apandi lirih.
Menurut cerita keluarga, Tasmi hidup hemat, menyisihkan setiap ringgit untuk anaknya di kampung. Ia memendam semua sakit dan rindu demi menjalani kewajibannya sebagai tulang punggung keluarga.
Namun takdir berkata lain. Tubuhnya yang sakit tak kuat lagi menahan. Ia ditemukan tak bernyawa di kamar kosnya. Jenazahnya kini berada di rumah sakit Kuala Lumpur, menunggu proses pemulangan yang belum juga terlaksana.
Kini, Apandi hanya bisa berharap—agar kakaknya bisa pulang untuk terakhir kalinya.
“Saya mohon, kepada siapa pun, terutama kepada pemerintah dan Bapak Presiden Prabowo Subianto. Tolong bantu kami. Kakak saya ingin pulang. Kami ingin memakamkannya di kampung, di tempat kelahirannya,” ucapnya penuh harap.
Apandi mengaku tak memiliki cukup biaya untuk mengurus semua proses pemulangan jenazah. Ia pun kini berjuang seorang diri, setelah dua saudara mereka lainnya lebih dulu wafat.
Kisah Tasmi adalah cermin dari ribuan pekerja migran Indonesia yang berjuang dalam diam. Mereka meninggalkan keluarga, menahan rindu, dan kadang harus menutup rasa sakit demi menyambung hidup. Tapi tak semua dari mereka bisa pulang membawa senyum. Ada yang, seperti Tasmi, hanya bisa kembali dalam peti jenazah.
Editor : Miftahudin