Dilema di Balik Penutupan Galian C: Harapan yang Terkubur di Argasunya Cirebon

Penutupan itu memang bukan tanpa alasan. Menurut Lurah Argasunya, Mardiansyah, keputusan tersebut makin diperkuat pasca insiden longsor yang menewaskan dua orang pekerja belum lama ini. Pemerintah sudah lama memasang spanduk larangan aktivitas tambang, namun aktivitas tetap berjalan karena kebutuhan hidup lebih keras dari aturan.
"Penutupan ini untuk keselamatan warga juga," ujar Mardiansyah. “Kami memahami keresahan masyarakat. Hari ini, kami terima aspirasi mereka dan akan kami sampaikan ke tingkat atas.”
Namun jumlah orang yang terdampak tidak sedikit. Diperkirakan sekitar 500 warga menggantungkan hidup dari tambang itu. Mulai dari tukang gali, calo pasir, pemilik truk, hingga sopir. Penutupan berarti mematikan rantai ekonomi yang telah tumbuh bertahun-tahun.
Taryono, Ketua RW08 Kopi Luhur, menambahkan bahwa keputusan ini jangan sampai berat sebelah. Ia mengingatkan, jika galian ditutup, maka harus adil pula terhadap tempat pembuangan akhir (TPA) yang juga berada di wilayah mereka.
“Kalau galian ditutup, TPA pun harus ditutup. Jangan ada standar ganda,” tegasnya. Ia juga menekankan pentingnya solusi nyata dari pemerintah, terutama soal alih profesi. “Butuh modal, butuh pembinaan. Jangan cuma disuruh pindah kerja, tapi tidak diberi jalan.”
Ironisnya, pasir dari luar daerah kini justru membanjiri depot di Argasunya. Truk-truk lokal milik warga justru mangkrak, tak punya tempat beroperasi lagi karena sebagian besar galian lain pun ditutup.
Kini warga Argasunya berada di persimpangan jalan. Mereka tidak membela ilegalitas, tetapi mereka berjuang demi keberlangsungan hidup. Antara tuntutan keselamatan dan realita perut yang lapar, pemerintah dihadapkan pada tugas yang tak mudah: menutup lubang tambang tanpa membiarkan lubang kemiskinan makin menganga.
Editor : Miftahudin