JAKARTA, iNewsCirebon.id - Setiap politisi, di mana pun di dunia, berharap pelaksanaan pemilu berjalan damai. Pemilu menjadi alternatif terbaik regenerasi dan suksesi kepemimpinan, tanpa mengusik aktivitas dan tatanan kehidupan keseharian masyarakat. Kecuali para petualang politik, yang mengalami sindrom inferioritas karena merasa kurang mendapat dukungan publik,
“Seluruh politisi yang berpikir jernih akan berusaha menjaga pelaksanaan pemilu agar tidak menimbulkan berbagai friksi, riak-riak yang berpotensi menimbulkan konflik horisontal antar pendukung,” demikian ditegaskan MH Said Abdullah, salah ketua DPP PDI Perjuangan dalam rilisnya yang diterima wartawan, Senin (15/1/2024).
Pihaknya tidak ingin pengalaman buruk suksesi kepemimpinan di negara yang saat ini mengalami konflik seperti Irak, Suriah dan Afghanistan dalam pelaksanaan pemilu di negerinya masing-masing. Tak ada sepercik pun, bahkan bayangan kepahitan yang menyengsarakan dan menimbulkan petaka sehingga berjatuhan air mata, darah dan nyawa rakyat mewarnai pelaksanaan pemilu.
“Harapan idealnya adalah pemilu menjadi sarana suksesi penuh kedamaian. Hal itu diyakini akan dapat terwujud jika seluruh pihak berusaha keras mengawal proses pemilu agar sesuai koridor perundangan-undangan,” ujar Said.
Menurutnya, ketaatan dan kesungguhan semua pihak mengawal seluruh proses pemilu berjalan sesuai perundang-undangan memiliki urgensi dan tuntutan sangat tinggi. Dinamika sosial, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi kini mewujud menjadi kekuatan luar biasa, yang memonitor ketat sehingga mudah terdeteksi berbagai tindakan yang menyimpang dari aturan permainan sekecil apa pun.
“Para politisi, terutama yang masih berpikir menggunakan paradigma lama harus mempertimbangkan realitas dinamika sosial yang kini terjadi hampir seluruh pelosok negeri. Pertama, masyarakat saat ini makin mudah mendapatkan akses informasi dan komunikasi sehingga sekecil apa pun tindakan penyalahgunaan kekuasaan misalnya, mudah dan sangat cepat diketahui oleh rakyat seluruh negeri,” ungkap dia.
Kedua, lanjut Said, masyarakat Indonesia saat ini praktis bukan lagi menjadi konsumen berita. Masyarakat telah menjadi bagian sebagai pembuat berita, sehingga sepak terjang oknum-oknum, yang mengotori pelaksanaan pemilu hanya dalam hitungan detik tersebar ke seluruh negeri bahkan dunia. Wartawan-wartawan dadakan yang bermodal sederhana, seperangkat ponsel saat ini ada di setiap tempat.
“Ketiga, hampir 25 tahun Indonesia memasuki era reformasi secara fakta sosial telah memberikan perspektif pemikiran baru. Masyarakat tak lagi terbelenggu dan terkungkung seperti di era Orde Baru. Bahkan beberapa kalangan menyebutkan keberanian masyarakat saat ini sangat luar biasa dalam menyampaikan kritik dan perlawanan kepada aparat yang dianggap melakukan tindakan yang merugikan kepentingannya; termasuk yang seharusnya netral ternyata menjadi partisan,” beber Said.
Ia berpesan, jangan lagi kasus seperti kertas suara yang dikirim ke Taiwan, simulasi kertas suara pilpres yang hanya 2 pasangan, pengerahan aparat desa, tidak terjadi lagi. “Demikian pula oknum Forkopimda yang 'berkoalisi' dengan salah satu pasangan pilpres. Politisasi BLT, bansos yang diklaim dari pribadi, harus pula dihindari,” tambah Said.
Editor : Miftahudin