Pada 1847, surat kabar Inggris, Lady’s Newspaper, bahkan mengeklaim jumlah pengemis pada masa itu melebihi angka 60.000 orang.
Pada abad ke-18, pengemis dan gelandangan di London dapat terkena hukuman cambuk, penjara, hingga kerja paksa. Mirisnya, pengemis tersebut juga ada yang merupakan perempuan dan anak-anak. Mengemis adalah cara yang dilakukan sebagian masyarakat untuk bertahan hidup.
Keberadaan pengemis juga terdeteksi sejak era Romawi Kuno, tepatnya pada masa awal masehi. Wondrium Daily menyebut, pengemis pada masa itu berasal dari masyarakat miskin. Sebab, pada abad ke-1 dan ke-2, persentase warga miskin cukup banyak di negara itu.
Umumnya, orang miskin di Romawi Kuno tidak memiliki keterampilan khusus, sehingga mereka bekerja secara serabutan atau melakukan pekerjaan kasar. Namun, saat mereka tidak mampu bekerja atau tidak mendapatkan pekerjaan, mengemis adalah jalan terakhir yang mereka lakukan.
Pengemis saat itu tersebar di wilayah perkotaan dan perdesaan Romawi Kuno dengan jumlah hingga puluhan ribu.
Biasanya, para budak yang bekerja untuk masyarakat kaya raya memberikan sedikit penghasilan kepada pengemis. Pemberian tersebut bisa saja dilakukan atas inisiatif budak itu sendiri, maupun atas perintah tuannya.
Pengemis profesional juga terdeteksi di Romawi Kuno. Mereka yang masuk dalam kategori pengemis profesional adalah para pendeta yang mengandalkan sedekah dari masyarakat untuk bertahan hidup.
Selain itu, ada pula filsuf Cynic yang berasal dari kaum Cynic. Mereka menolak semua barang duniawi dan mengemis secara agresif hingga cenderung memaksa orang-orang. Mereka juga menyebarkan filosofi kemiskinan, sehingga membuat masyarakat bersedekah.
Hingga detik ini, pengemis terus menyebar dan ada di hampir seluruh negara di dunia. Salah satunya Amerika Serikat. Di negara ini, pengemis disebut juga sebagai homeless atau orang tidak memiliki tempat tinggal atau tunawisma.
Editor : Miftahudin