Puncaknya, 15 Juni 1887. Srimben yang saat itu berumur 17 tahun nekat meninggalkan keluarga besar dan melepas adatnya untuk kawin lari bersama Soekemi. Keduanya menikah tanpa restu orang tua Srimben.
Dalam buku "Ibu Indonesia dalam Kenangan" yang ditulis Nurinwa Ki S Hendrowinoto dkk terungkap, setelah pernikahan, Soekemi dan Srimben menemui Nyoman Pasek lewat bantuan seorang kepala polisi.
Nyoman Pasek lalu menanyai Srimben. "Kenapa kamu berani merangkat dengan orang luar? Padahal kamu tahu ini sangat bertentangan dengan adat keluarga Bale Agung. Tidakkah kamu dipaksa?"
Srimben tak kuasa membendung air mata sambil menjawab "Bapak, saya berani merangkat karena saya sangat mencintai I Raden, begitu pula I Raden terhadap saya".
Meski kecewa, Nyoman Pasek berusaha berbesar hati seraya menimpali "Walaupun begitu, kamu dan I Raden tetap bersalah tidak diperkenankan pulang ke Bale Agung sebelum mendapat izin dari Bapak, dan Bapak akan tetap menyelesaikan persoalan ini ke pengadilan".
Pengadilan akhirnya memutuskan menjatuhkan denda sebesar 25 ringgit setara 25 dolar. Untuk membayar, Srimben harus menjual perhiasannya.
Menurut Arsana, Srimben memang melanggar adat.
"Tapi kami akhirnya sadar diri. Rai Srimben itu kan perempuan Bali kawin dengan orang Jawa dan melepaskan adatnya. Bagi kami sudah keluar, ya sudah," cetusnya.
Meski Srimben telah berani menentang adat, Arsana mengatakan semua itu telah diatur dan direncanakan Tuhan.
"Ini takdir harus terjadi. Kita juga tidak tahu akan lahir seorang Sukarno," pungkasnya.
Editor : Miftahudin
Artikel Terkait