Setiap hari, Srimben menghabiskan waktunya untuk ngayah atau bekerja dengan tulus ikhlas di Pura Bale Agung. Mulai dari membersihkan pura hingga menyiapkan sesajen yang setiap hari dipakai bersembahyang di pura.
Hingga satu ketika, Srimben sedang membawakan tarian di pura, tepatnya saat Hari Raya Galungan. Tiba-tiba, matanya tertuju kepada seorang lekaki yang sejak tadi menatapnya. Pria itu tidak lain adalah Raden Soekemi Sosrodihardjo.
Soekemi merupakan guru sekolah rendah di Singaraja yang ditugaskan oleh Kementerian Pendidikan Kolonial Belanda. Saat itu, guru asal Jawa itu sudah dua tahun ditempatkan di Bali.
Setelah berkenalan di pura, beberapa hari kemudian Soekemi memberanikan diri ke rumah Srimben. Tanpa disangka, keluarga besar Bale Agung membukakan pintu lebar. Soekemi rupanya punya keahlian membaca lontar sehingga dikagumi keluarga Srimben.
Soekemi memanfaatkan kesempatan itu untuk terus melakukan pendekatan kepada Srimben. Singkat cerita, Srimben pun tak kuasa menolak ketika Soekemi menyatakan cintanya.
Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai Srimben (Foto : Istimewa)
Dengan penuh keyakinan, Soekemi lalu datang menemui Nyoman Pasek seraya menyatakan ingin menikahi anaknya.
"Bapak Srimben dengan tegas menjawab tidak bisa. Soekemi orang Jawa, agamanya Islam," tutur Arsana.
Menurut Arsana, penolakan Nyoman Pasek memang sesuai doktrin leluhurnya zaman itu.
"Dulu ada semacam doktrin di leluhur kami, kalau laki-laki dan perempuan kawinnya intern di sini saja," ungkapnya.
Editor : Miftahudin
Artikel Terkait