JAKARTA, iNews.id - Kondisi ekonomi yang sulit akibat penjajahan Jepang membuat warga Tinghoa di Indonesia tidak merayakan Tahun baru Imlek atau Sin Cia di awal masa kemerdekaan 1945.
Marcus AS dalam buku “Hari-Hari Raya Tionghoa” menyebut, Imlek belum bisa dirayakan karena situasi negara di awal kemerdekaan belum sepenuhnya kondusif, terutama di Jakarta dan sekitarnya.
“Siap-siapan” merupakan istilah yang merujuk pada peristiwa serangan mendadak dari musuh, biasanya serangan dari penjajah Belanda maupun Jepang. Setiap terjadi serangan, orang biasanya akan berteriak Siap!Siap!.
“Kemudian kita menamakan zaman siap-siapan,” kata Marcus dalam Hari-Hari Raya Tionghoa.
Meletusnya insiden-insiden di sekitar wilayah Tangerang pada tahun 1946 membuat Imlek juga tidak lagi dirayakan. Orang-orang Tionghoa menganggap sangat keterlaluan bila mereka bergembira, sementara saudara-saudara mereka sedang tertimpa bencana.
Pada 1948, Imlek juga belum bisa dirayakan. Orang-orang Tionghoa yang belum menjadi warga negara Indonesia terbebani perang saudara yang berkecamuk di Tiongkok. Harapan mereka tentang cita-cita “Satu Tiongkok” makmur, buyar. Begitu juga dengan tahun 1949. Belanda melancarkan agresi militer ke dua dan banyak orang Tionghoa menjadi korban.
Tidak sedikit rumah-rumah orang Tionghoa dibakar. Banyak yang kehilangan harta, nyawa maupun sanak famili. Banyak yang kemudian tidak memiliki tempat tinggal, bercerai dan kehilangan anak. Beribu-ribu orang berada dalam situasi mencekam sekaligus kekurangan sandang pangan.
"Tahun baru (Imlek) masih dianggap tidak pantas untuk dirayakan," kata Marcus AS.
Lepas dari tahun 1949, situasi Indonesia berangsur-angsur membaik, sehingga pada saat itu orang-orang Tionghoa mulai berani merayakan tahun baru Imlek, meskipun tidak secara besar-besaran.
Editor : Windi Trikusumawati