JAKARTA, iNewsCirebon.id – Instruksi Kejaksaan Agung kepada jajaran Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan untuk menunda pelaksanaan keputusan Gubernur mengenai pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) yang rencananya efektif pada 4 Oktober 2025 terhadap dua guru SMA di Luwu Utara, merupakan bukti nyata bahwa hukum tidak seharusnya berhenti pada teks semata.
Hukum perlu berjalan seiring dengan nurani dan rasa keadilan. Dalam kasus ini, seharusnya sanksi dari Pemerintah Provinsi cukup berupa pembinaan terhadap kedua guru tersebut.
Langkah Jaksa Agung yang memilih melihat esensi hukum secara menyeluruh—bukan hanya aspek formil—menunjukkan wajah penegakan hukum yang humanis dan berkeadilan.
Kedua guru yang terlibat bukanlah pelaku korupsi yang bertujuan memperkaya diri, melainkan bagian dari sistem pendidikan yang rapuh.
Mereka berupaya menutup kekurangan honorarium dan menunjukkan solidaritas dengan membantu memenuhi hak rekan guru lainnya yang belum dibayar selama 10 bulan.
Tindakan Kejaksaan yang mendorong upaya Peninjauan Kembali (PK) maupun permohonan grasi kepada Presiden Prabowo mencerminkan keberanian moral institusi hukum untuk mengoreksi Putusan Kasasi Nomor 4999/K/PidSus/2023 dan Putusan 4265/K/PidSus/2023 dengan menggunakan hati nurani.
Ini merupakan contoh penegakan hukum progresif: tegas terhadap kesalahan, namun tetap memberikan ruang koreksi serta kesempatan bagi nilai-nilai kemanusiaan.
Atas langkah ini, sudah selayaknya diberikan apresiasi penuh kepada Jaksa Agung dan seluruh jajarannya. Mereka menunjukkan bahwa penegakan hukum yang berkeadilan adalah penegakan yang mampu menyeimbangkan kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.
Semoga langkah ini menjadi inspirasi bagi seluruh aparat penegak hukum bahwa hukum tanpa rasa akan kehilangan arah, dan keadilan sejati hanya dapat hadir ketika hukum berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan.
Azmi Syahputra,
Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti,
Sekretaris Jenderal Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia ( Mahupiki)
Editor : Rebecca
Artikel Terkait
