JAKARTA, iNews.id – Baret Merah yang dikenakan Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad) yang menjadi anggota Kopassus didapat melalui Uji Terampil Perseorangan (UTP), bukan melalui kualifikasi Komando.
Untuk proses yang sekarang disebut "tradisi pembaretan" mereka pun harus melalui tahap ujian mental dan fisik.
Pembaretan selain dilakukan oleh para Kowad juga wajib dilakukan oleh perwira dari kecabangan non-tempur yang harus berdinas di Kopassus. Long march dari Pusdiklatpassus di Batujajar ke hutan latihan di Situ Lembang dilakoni untuk melatih fisik, mental dan kemampuan navigasi darat.
Keseluruhan proses "pembaretan" sekarang memakan waktu sekitar tiga minggu dan dirasa amat menantang oleh setiap anggota Kowad, sehingga mereka pun amat paham arti "mendapatkan" baret merah itu. Demikian dilansir dari Buku Kopassus untuk Indonesia.
Jika pada awalnya banyak anggota Kowad yang masuk Kopassus untuk dilatih menjadi atlet handal, sekarang ini werving Kopassus mulai ditujukan juga pada para atlet yang kemudian menjadi anggota Kopassus. Dengan proses rekrutmen seperti ini Kopassus makin sering mencetak atlet-atlet perempuan handal yang juga memiliki sifat pantang menyerah. Karakter khas ini sering menjadi penentu kemenangan baik kelas perorangan maupun kelompok.
Para anggota perempuan ini memang tidak terjun ke medan operasi, tetapi mereka terjun ke medan lomba dengan latihan yang sama kerasnya, baik atlet laki-laki maupun perempuan dalam berbagai kecabangan mulai dari bela diri, menembak, panahan, sampai terjun payung.
Setiap tahun, selalu ada jadwal pertandingan yang harus diisi dengan jadwal latihan. Bagaikan orang berkantor, mereka pun memiliki rutinitas pergi berlatih pagi hari sekali, sampai malam. Setiap hari selama enam hari seminggu. Pada hari ketujuh, menurut pengakuan para anggota sendiri mereka memilih tidur dan mencuci baju. Tidak ada jadwal pesiar di antara rutinitas latihan.
Uniknya lagi, terkadang mereka menerima Surat Perintah (Sprin) yang isinya meminta berlatih untuk suatu kecabangan tertentu walaupun sebelumnya mereka tidak sepenuhnya mendalami kecabangan itu-karena akan diikutkan untuk suatu kejuaraan.
Apa yang dialami Sertu (K) Dwi Oktaviani, 22 tahun, yang mendapat beberapa medali untuk kejuaraan Karate dan Yongmoodo, mengharuskannya berlatih setiap hari selama enam bulan dari sabuk putih sampai sabuk hitam untuk layak masuk kualifikasi peserta kejuaraan Karate.
Setelah itu, Okta juga mendapat tugas lagi untuk ikut kejuaraan Yongmoodo yang belum pernah ia tekuni sebelumnya, tetapi dengan tekad keras ia menjalani pelatihan selama tiga bulan dan akhirnya siap tanding.
Pada waktu itu, jika Kopassus ingin menjadi juara umum di Kejurnas Bela Diri Militer Yongmoodo Kasad Cup ke-7 (2017), pertandingan Okta lah yang menjadi penentu.
Nahas, pada saat semifinal ia mengalami cedera yang membuat pergelangan kakinya membengkak besar, sulit melangkah, apalagi menendang. Malam itu Oktavia menangis kesal bercampur rasa sakit. Tim Dokter menyatakan Okta tidak dapat bertanding keesokan harinya, tetapi para pelatih dan koordinator yang semuanya prajurit Kopassus menguatkan hatinya bahwa ia pasti bisa! Berani, benar, berhasil, dan semua jargon Kopassus yang sering didengung-dengungkan rupanya menjadi motivasi baginya.
Keesokan harinya dengan kaki yang dibebat dan disemprot cairan penahan sakit, Okta membulatkan hati, meyakinkan diri akan menjadi pemenang pertandingan penentu dan membawa Kopassus menjadi juara umum. Tidak ada rasa sakit terbayang di wajahnya, menit demi menit berlalu sampai akhirnya wasit memberikan tanda pertandingan berakhir dengan Okta sebagai juara untuk kelas 55 kg putri.
Menang dalam pertandingan sudah menjadi tradisi di antara anggota perempuan, para senior dengan gagah membuka pintu kamar mereka lebar-lebar memamerkan gantungan medali yang berjuntai berat di dinding kamar pada adik-adik baru mereka, memberikan contoh dan motivasi untuk terus berlatih dan memenangkan berbagai pertandingan.
Editor : Miftahudin