Melihat Tradisi Ritual Panjang Jimat di Keraton Kanoman Cirebon, Warisan Sunan Gunung jati

CIREBON, iNewsCirebon.id– Ribuan warga memadati kawasan Keraton Kanoman Cirebon pada malam Jumat Kliwon, 12 Mulud atau bertepatan dengan 5 September 2025. Sejak sore hari, masyarakat berbondong-bondong datang untuk menyaksikan ritual Panjang Jimat, tradisi sakral yang telah diwariskan turun-temurun selama lebih dari lima abad.
Panjang Jimat bukan sekadar perayaan, melainkan puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang menyatukan unsur spiritual, budaya, dan sejarah Cirebon.
Juru bicara Keraton Kanoman, Ratu Raja Arimbi Nurtina, menuturkan tradisi ini pertama kali digelar pada masa Pangeran Cakrabuwana dan Sunan Gunung Jati sekitar tahun 1470 di Keraton Pakungwati.
“Panjang Jimat adalah bentuk syiar Islam dan penghormatan kepada Rasulullah SAW, yang membawa cahaya Islam ke seluruh alam,” ujar Arimbi.
Makna Panjang Jimat
Secara simbolis, “Panjang” merujuk pada wadah pusaka berbentuk piring bundar besar, sementara “Jimat” adalah sesuatu yang dianggap suci. Jimat juga diartikan sebagai nasi jimat, yakni nasi yang dimasak dengan tata cara khusus, diiringi lantunan shalawat sejak proses pengupasan gabah hingga penyajiannya.
“Nasi jimat menjadi doa dan syafaat yang dipersembahkan untuk Baginda Rasulullah,” tambahnya.
Prosesi Ritual
Puncak Panjang Jimat ditandai dengan Pawai Alegoris, sebuah iring-iringan teatrikal yang menggambarkan perjalanan sejarah kelahiran Nabi Muhammad SAW. Prosesi dimulai dari Pendopo Jinem menuju Masjid Agung Kanoman, dengan menghadirkan tokoh-tokoh simbolis seperti Abdul Muthalib, Siti Aminah, hingga rombongan pembawa nasi jimat, boreh, kembang goyang, dan tumpeng jeneng.
Sultan Keraton Kanoman, Sultan Raja Muhammad Emirudin, memimpin langsung jalannya ritual, sementara Patih Keraton, Pangeran Raja Muhammad Qodiran, memimpin jalannya pawai.
Menurut Arimbi, setiap unsur dalam pawai sarat filosofi. Jumlah tumpeng nasi jimat, yang bisa tujuh atau dua belas, melambangkan Nabi, para sahabat, hingga para wali penyebar Islam di tanah Jawa.
“Simbol-simbol ini mengajarkan manusia tentang keterikatan pada ciptaan Allah, baik berupa unsur fisik seperti air, api, tanah, dan angin, maupun unsur nonfisik seperti ilmu, nur, dan suhud,” jelasnya.
Suasana Ritual
Sejak sore, suasana di kawasan keraton semakin semarak. Pedagang kaki lima memenuhi area sekitar, menawarkan makanan dan minuman kepada para pengunjung. Lantai pendopo yang dipenuhi bunga melati menambah khidmat prosesi.
Tepat pukul 21.00 WIB, ritual dimulai. Lantunan Barzanji dan shalawat bergema, menutup malam dengan nuansa religius yang penuh khusyuk.
“Panjang Jimat bukan hanya ritual tahunan, tetapi warisan adiluhung yang meneguhkan identitas Cirebon sebagai kota wali,” pungkas Arimbi.
Editor : Miftahudin