Mengungkap 3 Mitos Goa Sunyaragi, Nomor Terakhir bikin Enteng Jodoh

CIREBON, iNewsCirebon.id - Ada beberapa mitos Goa Sunyaragi yang hingga kini masih dipercaya oleh masyarakat Cirebon. Salah satunya mitos jika pengunjung yang datang kesana bisa enteng jodoh. Tak hanya itu, masih ada mitos unik lainnya yang harus kamu tahu.
Mitos Goa Sunyaragi yang pertama adalah lorong yang bisa tembus sampai ke Mekkah dan China. Lorong ini lokasinya berada di belakang pelataran Gua Arga Jumut. Pengelola Goa Sunyaragi menjelaskan bahwa di dalam lorong tersebut hanya terdapat ruangan sempit dengan luas 1 x 1 meter.
Mitosnya, ruangan sebelah kiri bisa menuju ke China, sedangkan sebelah kanan menuju Mekah. Masyarakat meyakini, Walisongo dan orang tua zaman dulu bisa ke Tiongkok dan Mekah melalui lorong tersebut.
Lorong Goa Sunyaragi merupakan simbol dari keberagaman di Cirebon. Sejak zaman dahulu, wilayah Cirebon yang merupakan pelabuhan sudah berinteraksi dan memiliki hubungan dagang dengan China dan Arab. Kedua suku bangsa tersebut mempunyai peran dalam sejarah panjang Cirebon.
Patung Perawan Sunti terletak di depan mulut Gua Petang, dan berbentuk seperti tugu kecil. Mitosnya jika anak gadis yang belum menikah menyentuh patung tersebut, maka akan susah mendapatkan jodoh. Adapun makna Patung Perawan Sunti adalah sebuah nasihat yang mengandung arti jika hamil sampai melahirkan, harus jelas siapa suami dan bapak anak tersebut.
Bila terlanjur menyentuhnya, ada cara untuk menangkal mitos tersebut, yaitu dengan berjalan masuk ke dalam Gua Kelanggengan yang dipercaya dapat melanggengkan sesuatu termasuk masalah jodoh.
Mitos Goa Sunyaragi yang terakhir merupakan kebalikan dari Patung Perawan Sunti, yakni membuat cepat dapat jodoh. Goa Kelanggengan berasal dari kata 'langgeng', yang artinya abadi, awet, tahan lama.
Mitosnya, jika orang yang belum menikah masuk ke goa ini, maka akan cepat dapat jodoh dan bagi yang sudah punya jodoh, maka akan semakin dilanggengkan.
Demikianlah beberapa mitos Goa Sunyaragi. Mitos merupakan sebuah kepercayaan yang sudah ada sejak lama dan berkembang dari mulut ke mulut, kita hanya perlu menghormati dan menghargainya.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta