Namun keinginan ini ditolak mentah-mentah oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jembrana, Bali. Alih-alih membangun jembatan, Pemkab Jembrana lebih menginginkan pembangunan infrastruktur jalan dari Gilimanuk menuju Denpasar.
Ada suatu cerita ketika Gubernur Bali Wayan Koster dengan tegas menolak usulan itu meski dirinya ditelepon langsung oleh Menteri Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono pada 2018.
Koster menolak gagasan pembangunan jembatan Jawa Bali. Dia menyebut ada sesuatu yang sakral dan spiritual yang tidak bisa dilanggar, sehingga dirinya tidak mengizinkan ide pembangunan jembatan diteruskan.
Penolakan juga datang dari Persatuan Hindu-Dharma Indonesia (PHDI). PHDI tak menyetujui pembangunan jembatan yang menghubungkan Jawa dengan Bali karena alasan tradisi.
Ada mitos yang diyakini oleh masyarakat Bali yang tak boleh dilanggar. Mitos itu berkaitan dengan Dang Hyang Sidhimantra dan asal-usul munculnya Selat Bali yang memisahkan Pulau Jawa dan Pulau Bali.
Menurut mitologi masyarakat Bali, pulau Jawa dan Pulau Bali memang harus terpisah oleh laut. Keberadaan Selat Bali adalah filter agar Pulau Bali terhindar dari hal-hal negatif dan pengaruh buruk.
Alasan lain adalah keyakinan bahwa posisi manusia dan bangunan, dalam hal ini jembatan tidak boleh lebih tinggi dari Padmasana, yaitu tempat sembahyang atau menaruh sesaji.
Jika jembatan Jawa Bali benar-benar dibangun, posisinya tentu akan lebih tinggi dari daratan karena ombak di Selat Bali yang terkenal tinggi.
Editor : Miftahudin
Artikel Terkait