Viral! Tren Face Taping Diklaim Botoks Alami, Apa Kata Ahli Dermatologi?

JAKARTA, iNewsCirebon.id – Belakangan ini, jagat media sosial TikTok dan Instagram diramaikan dengan tren face taping atau "pita wajah."
Metode ini digadang-gadang sebagai alternatif alami botoks, menjanjikan kulit kencang dan bebas kerutan tanpa perlu prosedur invasif. Banyak influencer kecantikan bahkan mengklaim efektivitasnya dalam mencegah kerutan di wajah.
Namun, seberapa ampuhkah tren ini menurut para ahli? Mari kita selami lebih dalam.
Menurut The Independent, face taping melibatkan penggunaan pita perekat khusus yang ditempelkan di area wajah tertentu, seperti dahi, sekitar mata, dan rahang. Tujuannya sederhana: menarik dan mengencangkan kulit, serta membatasi gerakan otot wajah yang bisa menyebabkan kerutan.
Konsepnya mirip dengan botoks yang menghambat kontraksi otot. Beberapa pengguna bahkan percaya teknik ini bisa melatih otot wajah agar tetap rileks, sehingga mencegah garis halus muncul.
Meskipun terlihat menjanjikan, para ahli dermatologi memiliki pandangan berbeda. Mengutip New York Post, dermatologis Dr. Susan Massick dan Dr. Angela Casey menjelaskan bahwa efek penghalusan kulit dari face taping hanya bersifat sementara. Setelah pita dilepas, kulit akan kembali ke posisi semula karena gravitasi dan kurangnya dukungan struktural.
Lebih lanjut, penggunaan pita perekat ini berpotensi menyebabkan iritasi kulit, terutama jika digunakan secara rutin atau pada kulit sensitif. Dr. Hannah Kopelman menambahkan, meski pengurangan gerakan otot wajah bisa membantu pencegahan kerutan, belum ada bukti ilmiah kuat yang mendukung face taping sebagai solusi anti-penuaan jangka panjang.
Singkatnya, face taping memang bisa memberikan efek visual sementara dalam mengurangi kerutan dan mengencangkan kulit. Namun, penting untuk diingat bahwa metode ini bukan pengganti perawatan dermatologis profesional dan tidak memberikan hasil permanen.
Bagi Anda yang mencari solusi anti-penuaan yang efektif dan terbukti, konsultasi dengan ahli kulit dan pendekatan yang didukung penelitian ilmiah tetap menjadi pilihan terbaik. Jangan mudah tergiur tren viral tanpa memahami risikonya, ya!
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta