CIREBON, iNewsCirebon.id — Di pagi yang masih sejuk, sinar matahari perlahan menembus celah-celah dinding tua Museum Keraton Kasepuhan Cirebon. Bertepatan dengan 5 Muharam 1447 H, suasana di dalam area keraton terasa berbeda. Aura sakral menyelimuti setiap sudut, menandai dimulainya sebuah tradisi turun-temurun yang penuh makna: jamasan, atau ritual pencucian benda pusaka.
Tepat pukul 09.00 WIB, prosesi dimulai dengan doa bersama. Suara lantunan doa menggema pelan, membaur dengan aroma harum melati dan mawar yang memenuhi udara. Di tengah-tengah halaman, berdiri megah kereta pusaka Singa Barong, menjadi pusat perhatian sekaligus simbol kejayaan masa silam.
Air jamasan yang digunakan bukan sembarang air. Ia telah dicampur dengan kembang melati, mawar, serta ukup—ramuan wewangian khas Keraton Cirebon—yang dipercaya bukan hanya mampu membersihkan secara fisik, tetapi juga membawa energi spiritual untuk melindungi benda-benda pusaka dari kerusakan zaman.
“Ukup ini sudah lama digunakan di lingkungan keraton. Selain wanginya yang khas, fungsinya juga untuk mengawetkan kayu dan memperkuat nilai simbolik benda pusaka,” tutur Pangeran Raja Goemelar Soeryadiningrat, Patih Sepuh Keraton Kasepuhan, yang dengan khidmat menyaksikan prosesi tersebut.
Lebih dari Sekadar Membersihkan
Tradisi jamasan tidak sekadar ritual pembersihan. Di balik tiap gerakan lembut para abdi dalem saat menyeka permukaan pusaka dengan kain khusus, tersimpan makna mendalam: penyucian nilai-nilai sejarah, kebijaksanaan leluhur, dan spiritualitas yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Bagi Keraton Kasepuhan, bulan Muharam adalah waktu yang tepat untuk melakukan perenungan. Di sinilah, melalui ritual jamasan, pusaka-pusaka keraton yang menyimpan kisah panjang—dari masa Kerajaan Pajajaran, Panembahan Cirebon, hingga Sultan Sepuh—dibersihkan dengan penuh hormat. Masing-masing pusaka membawa jejak perjuangan, doa-doa zaman dulu, dan semangat yang tidak lekang oleh waktu.
“Setiap pusaka yang kami jamas punya cerita. Ada nilai perjuangan, ada nasihat, ada kekuatan spiritual di dalamnya,” ujar Pangeran Goemelar, matanya menyiratkan kebanggaan sekaligus kehati-hatian dalam menjaga warisan leluhur.
Sepuluh Hari, Ratusan Pusaka
Prosesi jamasan berlangsung selama sepuluh hari, sejak 1 hingga 10 Muharam. Tidak hanya kereta Singa Barong yang menjadi sorotan, ratusan koleksi lainnya juga ikut menjalani ritual—dari keris, tombak, kujang, badik, hingga tombak bermata tiga. Beberapa dipajang di museum, tapi sebagian besar disimpan secara khusus di ruang-ruang dalam keraton, hanya disentuh oleh tangan-tangan terpilih.
“Banyak pusaka yang sifatnya sakral dan tidak bisa diperlihatkan ke publik. Tapi semuanya dirawat dan dijamas dengan penuh dedikasi oleh abdi dalem khusus,” terang sang Patih.
Para abdi dalem pusaka adalah penjaga tradisi sejati. Mereka mewarisi ilmu dan tata cara jamasan dari leluhur, dengan gerakan yang tak hanya teknis, tetapi juga menyiratkan rasa khidmat dan penghormatan. Tak ada yang dilakukan dengan terburu-buru. Semua mengalir pelan, seolah waktu pun ikut melambat di tengah kekhusyukan prosesi.
Hidupnya Warisan Budaya
Bagi masyarakat Cirebon, jamasan bukan hanya milik keraton. Ia adalah milik bersama, lambang bahwa akar budaya dan spiritual masih kuat mencengkeram tanah dan hati mereka. Jamasan adalah identitas, jati diri, sekaligus pengingat bahwa nilai-nilai adiluhung masih dijaga dengan sepenuh hati.
“Selama Keraton Kasepuhan berdiri, jamasan akan tetap dilakukan. Ini bukan tradisi yang bisa hilang begitu saja. Ini warisan yang menyatukan kita,” tegas Pangeran Goemelar.
Tak heran, setiap tahun prosesi ini selalu menarik perhatian wisatawan, peneliti, bahkan akademisi. Bagi sebagian orang, jamasan adalah tontonan budaya. Tapi bagi yang memahami, ia adalah pelajaran hidup yang bernilai.
Muharam dan Penyucian Batin
Pemilihan bulan Muharam untuk prosesi ini bukan tanpa alasan. Dalam kalender Islam, Muharam adalah bulan suci, waktu untuk memulai yang baru. Maka jamasan pun tak hanya menyucikan pusaka, tetapi menjadi simbol penyucian batin. Ia mengingatkan bahwa manusia pun perlu membersihkan diri dari dosa dan kesalahan, menyongsong tahun baru dengan semangat yang lebih bersih dan niat yang lebih tulus.
Di tengah arus zaman yang bergerak cepat, tradisi jamasan berdiri sebagai jangkar. Ia menegaskan bahwa Keraton Kasepuhan bukan hanya pelindung artefak, tapi juga penjaga nilai-nilai luhur yang terus menyala, menembus batas generasi.
Editor : Miftahudin
Artikel Terkait