Apa Sebabnya Perempuan Indonesia Idolakan Warna Kulit Putih? Ungkap Sejarahnya

Solichan Arif
Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels (foto repro/ilustrasi).

KULIT putih menjadi idaman para perempuan Indonesia, karenanya banyak dari mereka terdorong untuk berlomba-lomba menerangkan warna kulitnya. 

Semua itu bermula pada pertengahan abad ke-19, yakni sejak pemerintah kolonial Belanda menghapus larangan perempuan Eropa berimigrasi ke Nusantara atau Hindia Belanda. Kebijakan itu terbit seiring dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869.

“Walaupun sejumlah perempuan Eropa telah datang ke Hindia Belanda sejak tahun 1620-an untuk menciptakan pemukiman Belanda, mereka menjumpai beraneka masalah dan penyakit, sehingga migrasi perempuan awalnya tidak didukung dan bahkan kemudian dilarang (kecuali istri-istri pejabat tinggi kolonial),” tulis Djoko Soekiman dalam buku Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa, Abad XVIII-Medio Abad XX.

Sejak larangan dicabut, jumlah perempuan Eropa yang mengunjungi Hindia Belanda terus meningkat. Pada tahun 1880, wanita Eropa yang memutuskan hijrah ke Nusantara mencapai 481 orang dengan jumlah laki-laki Eropa 1.000-an orang. 

Di saat yang sama, 620 wanita China atau Tionghoa dan 830 wanita Arab juga memutuskan pindah ke Hindia Belanda yang dikabarkan sebagai negeri yang memiliki banyak peluang hidup lebih baik.

50 tahun kemudian atau pada tahun 1930, sebanyak 884 wanita Eropa kembali datang ke Hindia Belanda. Jumlah mereka lebih besar dari kedatangan sebelumnya. 

Sementara perempuan China dan Arab bertambah masing-masing 646 orang dan 841 orang. Gelombang kedatangan imigran perempuan Eropa secara perlahan mengikis “budaya” pergundikan yang sebelumnya lumrah dilakukan laki-laki Eropa di Hindia Belanda.

Minat para pejabat kolonial Belanda untuk memelihara Nyai, menyusut. Mereka tidak lagi tertarik menyimpan perempuan pribumi sebagai istri simpanan. Kekhawatiran munculnya “orang putih” miskin yang bisa mengancam superioritas putih Eropa, membuat para lelaki Belanda memilih kembali berpaling kepada para wanita yang masih satu ras (kulit putih).

“Pergundikan mulai dianggap tidak begitu lagi diminati, dan pria-pria Eropa pun tak lagi terdorong untuk menyimpan Nyai,” kata Scholten Locher dalam Women and The Colonial State: Essays on Gender and Modernity in The Netherlands Indies 1900-1942.  

Selain menggusur praktik pergundikan, kehadiran wanita Eropa di Hindia Belanda sekaligus dipakai mempertegas superiotas Eropa di negeri jajahan, khususnya menyangkut citra kecantikan perempuan Eropa. Kolonial Belanda telah mempraktikkan politik rasial estetik. Kulit yang berwarna putih digunakan sebagai pembeda kategori sosial.

Citra kulit terang sebagai simbol ideal kecantikan perempuan Jawa masa pra kolonial, digusur. Bahwa yang disebut perempuan cantik itu yakni mereka yang berkulit putih Eropa. 

Bukan lagi kulit warna sawo terang sebagaimana diceritakan dalam kisah-kisah Ramayana. Bagi kekuasaan kolonial, menampilkan keeropaan di Hindia Belanda menjadi sesuatu yang penting. Penanda keeropaan dikonstruksi dan diperlihatkan kasat mata.

Ann Stoler dalam Making Empire Respectable: The Politics of Race and Sexual Morality in 20th Century Colonial Cultures (1989) menyebut: terutama para perempuan Belanda terdorong menghiasi diri dan keluarga dengan artefak-artefak budaya sebagai Eropa. Mereka tidak hanya menonjolkan warna kulit putih sebagai simbol kecantikan nan agung.

Sebelum menjejakkan kaki di tanah Hindia Belanda, para perempuan Eropa dibrefing urusan tata krama Eropa. Mereka harus bisa menampilkan sopan santun kelas menengah Eropa serta kepantasan kolonial. Para perempuan Eropa didesain untuk tidak mempertontonkan kemarahan atau pun ringan melontarkan cacian.

Di depan kaum jajahan, tindak tanduk perempuan Eropa harus senantiasa terlihat bijak dan terkendali, terutama saat menghadapi pembantu: harus tenang, jaga diri, tak pernah marah, selalu tegas, dan lebih unggul. Prestise orang kulit putih di Hindia Belanda menjadi alasan dibalik prilaku para perempuan Eropa yang senantiasa tampak terkendali dan pantas itu.

“Itu karena beban untuk menjunjung prestise orang kulit putih terletak di pundak mereka (perempuan Eropa),” kata Ann Stoler. 

Perempuan cantik yakni perempuan berkulit putih yang halus dan kalem menjadi komoditas budaya kecantikan di Hindia Belanda. Sejarawan Onghokham dalam artikelnya “Show Kemewahan, Suatu Simbol Sukses”, menyebut komoditas Eropa tersebut tidak hanya dikonsumsi orang Eropa dengan tujuan menjaga prestise mereka sebagai penjajah.

Komoditas budaya estetik Eropa itu juga dikonsumsi orang Indo campuran, China, serta priyayi pribumi baru (aristokrat dan birokrat Jawa) yang menjalankan kebudayaan Eropa untuk memajukan karier, prestise, serta status sosial politik mereka. Kelak, dalam perjalanannya, bangunan budaya estetik Eropa semakin mendapatkan bentuknya.

Warna kulit putih sebagai simbol kecantikan wanita diperkokoh dengan adanya framing media massa terbitan era kolonial. Surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad (1885-1935), De Locomotief (1864-1956), dan Java Bode (1852-1957) membuat lembar khusus perempuan, dengan produk iklan kecantikan yang mengambil foto atau gambar perempuan Kaukasia disertai teks yang menandai mereka sebagai ideal kecantikan.

“Terbitan-terbitan era kolonial ini tak syak lagi menyediakan bukti berlimpah tentang representasi perempuan Kaukasia sebagai ideal kecantikan dalam wacana kecantikan yang dominan,” kata L. Ayu Saraswati dalam buku Putih, Warna Kulit, Ras dan Kecantikan di Indonesia Transnasional (2017).     

 

Editor : Miftahudin

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network