Perjalanan Hidup Kho Ping Hoo, Penulis Cerita Silat Legendaris yang Karyanya Tak Usang Dimakan Waktu
JAKARTA, iNewsCirebon.id - Perjalanan hidup Kho Ping Hoo atau Asmaraman Sukowati, penulis cerita silat (cersil) dari jaman ke jaman. Kho Ping Hoo dikenal luas berkat konsistensinya menulis berbagai cerita silat dan telah melahirkan sekitar 120 judul cerita selama kurun 30 tahun.
Kho Ping Hoo, lahir di Sragen, Jawa Tengah pada 17 Agustus 1926. Orangtuanya berdarah Cina-Jawa dan ayahnya bernama Kho Kiem Po, seorang guru silat yang mengajarkan Ping Hoo ilmu bela diri sejak kecil.
Ping Hoo hanya menempuh pendidikan kelas 1 di Mulo atau setara dengan SMP. Di usianya yang menginjak 14 tahun, dia berhenti sekolah karena masalah ekonomi dan mulai bekerja sebagai pelayan toko.
Ping Hoo kecil sering menitikan air mata saat melihat teman-temannya melintas untuk berangkat sekolah.
Saat penjajahan Jepang, ia memutuskan berangkat ke Surabaya dan bekerja sebagai penjual obat. Dia dengan sabar dan tekun, berkeliling dari toko ke toko untuk menjajakan obat-obatan seperti pil kina dan berbagai jenis obat lainnya.
Pada saat itu, Ping Hoo sempat digembleng menjadi Kebothai, yakni semacam pendidikan Hansip yang sangat militeristik.
Kemudian Kho Ping Hoo kembali ke Sragen dan bergabung dengan Barisan Pemberontak Tionghoa.
Pada tahun 1945, saat dirinya menginjak usia 19 tahun Ping Hoo memutuskan menikah dengan sepupunya Ong Rose Hwa atau Rosita Sukowati. Pasangan suami istri ini kemudian pindah ke Kudus dan Ping Hoo bekerja sebagai mandor di sebuah perusahaan rokok.
Ada satu peristiwa yang sangat membekas dalam ingatannya yakni saat ayahnya duduk di pinggir jalan sedang meminta-minta. Hal itulah yang mendasari Kho Ping Hoo menjadi seorang pekerja keras.
Pada suatu ketika ayah Kho Ping Hoo sakit keras, namun karena berasal dari keluarga miskin sehingga ia tidak mampu membayar biaya pengobatan. Satu-satunya jalan untuk mendapatkan uang dengan cara pintas yakni mengemis. Tentu saja keadaan itu tak bisa diterimanya, mengingat ayahnya merupakan seorang guru silat.
Sebagai anak laki-laki pertama atau anak kedua dari 12 bersaudara, Ping Hoo merasa harus bertanggungjawab atas kejadian yang menimpa ayahnya. Ia punya kewajiban untuk mencari uang kontan karena tidak mudah untuk bisa mendapatkan uang secara langsung dari perusahaan.
Hari itu juga, Ping Hoo memutuskan menjadi tukang becak yang dilakoninya kurang dari seminggu. Semua pengalaman itu, benar-benar mengubah hidupnya.
Ia menjadi penulis sejak tahun 1958 saat berusia 32 tahun, setelah ia dan istrinya pindah ke Tasikmalaya, Jawa Barat.
Dengan modal kesukaannya menulis, minat baca yang tinggi sejak kecil dan ditambah pengetahuan bela diri yang didapat dari ayahnya membuat ia percaya diri untuk menjadi seorang penulis.
Awalnya Ping Hoo menjadi penulis cerita pendek untuk majalah teratai. Hingga pernah salah satu karyanya dimuat dalam majalah ternama kala itu bernama Star Weekly.
Dengan bakat yang dimilikinya, ia mulai mencoba menulis serial cerita silat. Karya pertamanya berjudul 'Pedang Pusaka Putih' ternyata banyak digemari. Kesuksesan yang diraihnya itu, membuat Ping Hoo tambah bersemangat dan menemukan jalan hidupnya.
Karya-karya cerita silat Kho Ping Hoo yang diterbitkan oleh penerbit Analisa Jakarta mulai banyak peminatnya hingga tak terbendung.
Beberapa karyanya yang terkenal seperti Bu Kek Siansu, Pendekar Gila, Suling Emas, Cinta Bernoda Darah, Mutiara Hitam, Sepasang Pedang Iblis, Istana Pulau Es, Sepasang Rajawali dan Jodoh Rajawali.
Uniknya, Ping Hoo ternyata belum pernah berkunjung ke negeri tirai bambu itu dan tidak bisa berbahasa mandarin, namun dalam cerita silatnya ia mampu dengan baik mendeskripsikan lokasi dan keadaan Cina daratan.
Anehnya lagi, ia bisa menggambarkan banyak detail tentang budaya masyarakat Cina dengan baik. Semua detail dalam tulisannya, ia peroleh dari kegemarannya membaca.
Di lain sisi, ketidakmampuannya membaca dalam bahasa mandarin membuat dirinya tidak dapat mengakses sumber-sumber sejarah negeri Tiongkok berbahasa mandarin, sehingga banyak fakta historis dan geografis Tiongkok dalam ceritanya tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Oleh karena itu, karya Kho Ping Hoo akan membingungkan bagi yang mengerti sastra atau sejarah Tiongkok yang sebenarnya.
Meski demikian, Kho Ping Hoo tetap merupakan penulis cerita silat yang sangat populer di Indonesia. Ia telah mengilhami banyak penulis dalam melahirkan karya.
Perannya bagi kehidupan sastra di Indonesia memiliki pengaruh yang kuat terutama dalam memotivasi penulis-penulis pribumi untuk membuat jenis cerita yang sama, yaitu silat.
Mereka yang mengikuti jejaknya antara lain S.H. Mintardja, Herman Pratikto, dan Arswendo Atmowiloto.
Meski Kho Ping Hoo telah meninggal dunia pada 22 Juli 1994 di usianya yang ke-67 tahun, namun karya-karyanya selalu dikenang hingga sekarang.
Itulah kisah perjalanan hidup Kho Ping Hoo, penulis cerita silat legendaris Indonesia yang karyanya tak pernah usang dimakan waktu seperti yang dilansir dari TikTok @rinnybudoyo.
Editor : Miftahudin
Artikel Terkait